Kalimat sederhana dari Malala Yousafzai ini telah menggema ke seluruh dunia:
“Satu anak, satu guru, satu buku, satu pena dapat mengubah dunia.”
Malala Yousafzai adalah seorang aktivis pendidikan asal Pakistan, peraih Hadiah Nobel Perdamaian termuda di dunia 2014 (di usia 17).
Di balik kata-kata Malala Yousafzai di atas tersimpan pesan besar: perubahan tidak selalu dimulai dari hal yang megah dan besar. Ia justru lahir dari sesuatu yang sederhana, dekat, dan seringkali kita anggap kecil.
Seorang anak membawa harapan. Dalam dirinya ada rasa ingin tahu, semangat, dan mimpi yang menunggu untuk tumbuh.
Seorang guru menyalakan obor pengetahuan, menuntun anak berjalan di jalan yang kadang gelap, hingga menemukan cahaya.
Sebuah buku adalah jendela dunia, membuka wawasan dan imajinasi, menghadirkan kisah dari masa lalu, pengetahuan hari ini, dan harapan masa depan.
Sebuah pena adalah alat sederhana, tetapi dengan goresannya, lahir puisi, ilmu, perjanjian, bahkan sejarah baru.
Bayangkan jika keempat hal itu bersatu: anak yang bersemangat, guru yang tulus, buku yang membuka cakrawala, dan pena yang menuliskan mimpi. Di situlah lahir kekuatan untuk mengubah dunia.
Buku tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga membangun identitas dan menjaga warisan peradaban. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penanam nilai kehidupan. Anak bukan sekadar murid, tetapi bibit masa depan. Dan pena bukan sekadar alat, tetapi senjata damai untuk membangun peradaban.
Papua, Indonesia, bahkan dunia membutuhkan lebih banyak anak yang berani bermimpi, guru yang berjuang tanpa lelah, buku yang terbit dari rahim budaya sendiri, dan pena yang menuliskan kearifan lokal. Dengan itu semua, kita tidak hanya menjaga pengetahuan, tetapi juga menyebarkan cahaya.
Karena benar adanya: perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil—dari satu anak, satu guru, satu buku, dan satu pena.
Anda ingin terbitkan buku atau ingin beli buku, klik Icon WhatsApp di website ini! (penerbitvensonpapua.com)